![]() |
dok.pribadi bersama KH Mubarok & Alumni Santri Al Falah |
Kebiasaan santri di pondok-pondok salaf tradisional tak lepas dari ittiba’ dari sistem pengajaran dari Syaikh Abdul Qadir Jailani.
Dikisahkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Jalani dalam mengajarkan ilmunya pada murid-muridnya yang pertama kali diperkenalkan adalah adab sebelum ilmu. Saat murid mempunyai adab maka ilmu akan mudah diterima dan disitulah keberkahannya.
Salah satu adab yang diajarkan oleh Syaikh Abdul Qodir Jailani adalah adab makan. Saat waktu makan, guru dan murid-muridnya duduk melingkari nampan besar berisi makanan, sang gurupun menyantap makanan dahulu, murid-murid hanya diam menunggu. Setelah sang guru selesai makan, barulah murid-murid makan bersama dari sisa makanan gurunya.
Rupanya saat waktu makan tersebut, ada seorang wali murid yang datang menjenguk anaknya, melihat hal tersebut, si wali murid berfikiran bahwa selama ini anaknya yang belajar kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani diperlakukan seperti kucing. Anaknya diberikan sisa makanan dari gurunya. Dari pikiran inilah yang menyebabkan orang tua murid tersebut memprovokasi wali murid lainnya.
Salah satu orang tua murid yang merupakan orang kaya ikut terprovokasi, kemudian mendatangi Syaikh Abdul Qadir Jailani dan menyatakan protes atas perlakuan sang guru kepada anaknya, dengan memberikan sisa makanan pada anaknya merupakan penghinaan terhadap anak.
“Wahai Syaikh, saya pondokkan anak saya disini agar anak saya jadi alim ulama, saya pondokkan anak saya disini bukan untuk jadi pembantu, apalagi anak saya diperlakukan seperti kucing”. Syaikh Abdul Qadir Jailani kemudian menjawab. “Jika begitu silahkan bawa anakmu pulang”
Seketika itu juga, si orang tua murid tadi membawa pulang anaknya. Saat dalam perjalanan, si orang tua murid tadi bertanya pada anaknya beberapa hal tentang berbagai ilmu pada anaknya, ternyata semua pertanyaan yang diajukannya dijawab dengan jelas oleh anaknya. Maka orang tua murid tadi berubah fikiran dan ingin mengembalikan anaknya ke pondok Syaikh Abdul Qadir Jailani.
“Wahai Syaikh terimalah anak saya untuk belajar kembali di pondok ini, didiklah seperti sedia kala. Ternyata anak saya memiliki adab dan ilmu yang luar biasa. Maafkan saya karena telah suudzon pada Syaikh”. Syaikh Abdul Qadir Jailani pun menjawab “Bukan saya tidak mau menerima anakmu kembali kesini, tapi Allah sudah menutup pintu untuk menerima ilmu dariku, Allah sudah menutup futuhnya (Mata Hati) untuk mendapat ilmu yang disebabkan oleh orang tua yang tidak beradab kepada guru.”
Dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran, pertama, bahwasanya keberkahan ilmu yang didapat seorang murid tak lepas dari keridhaan sang guru dan adabnya orang tua terhadap guru. Orang tua yang su’ul adab/tidak beradab pada guru bisa menyebabkan sang murid tidak berkah ilmunya. Saya kutip perkataan ulama “Satu prasangka buruk saja kepada gurumu, maka Allah haramkan seluruh keberkahan yang ada pada gurumu kepadamu”.
Kedua, kisah orang tua yang su’ul adab pada guru ini merupakan refleksi untuk para orang tua murid, jangan sampai sia-sia kita memondokkan anak kita di pesantren jika pada akhirnya ilmu yang diperolehnya tidak berkah, dikarenkan sikap kita sebagai orang tua yang su’ul adab kepada guru sehingga anak kitapun menjadi kehilangan adab kepada gurunya.
Komentar
Posting Komentar