dok.pribadi |
Sebagai orangtua tentunya kami ingin anak-anak kami menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah dan bermanfaat bagi masyarakat. Tentunya pendidikan sangat berperan bagi terbentuknya anak-anak yang shalih dan shalihah. Pondok pesantren bagi kami adalah tempat yang pas untuk mendidik anak-anak kami, karena saya dan istri sudah merasakan bagaimana pondok pesantren menanamkan ketauhidan akhlakul karimah dan muamalah.
Sebelum memondokkan anak, kami ajak anak-anak berdiskusi, pingin pondok yang bagaimaima? Pondok salaf tradisional seperti ayah bundanya dulu, atau pondok modern yang lagi ngetren saat ini? Lewat media youtube mereka bisa melihat profil pondok pesantren yang ada di Indonesia terutama di Jawa Timur
Anak pertama memilih pondok pesantren Amanatul Ummah Mojokerto karena pondoknya megah dan elit terlebih ada program Akselerasi. Sedangkan anak kedua ingin mondok yang santrinya perempuan semua dan tempat tidur asramanya sendiri-sendiri, maka ia pilih pondok pesantren Darul Ukhuwah Putri 1 Malang.
Atas pilihan masing-masing memilih pondok untuk mendidik mereka, kami selaku orangtua member arahan dan pertimbangan, pesan yang selalu kami katakan pada anak-anak “Pondok ini adalah pilihanmu, jadi kamu harus menanggung sebab dan akibatnya jika mondok disini, karena ada aturan-aturan yang harus kamu taati agar ilmu yang kamu dapat diberkahi, jangan sekali-kali mengeluh dan menyesali atas pilihanmu, yang merasakan suka duka di pondok adalah dirimu, karena kamu yang menjalaninya, sedangkan ayah bunda hanya bisa mensupport seluruh kebutuhanmu dan berdoa untuk kesuksesan kamu”.
Anak kami yang pertama memilih pondok pesantren Amanatul Ummah dan masuk kelas akselerasi, tentu bisa ditebak betapa padatnya kegiatan sebagai santri akselerasi, harus sudah bangun dini hari, qiyamullail di masjid, lanjut subuh berjamaah, ditutup dengan ngaji kitab diasuh langsung oleh pengasuh pondok KH DR Asep Syaifuddin Halim, MA.
Ada waktu 1 jam untuk bersih-bersih diri dan sarapan pagi, harus antri berebut mandi, jika waktu tidak mencukupi terpaksa tidak mandi dan mandinya cari waktu yang longgar dan sepi, dan anak kami bercerita kadang mandinya sekali dalam sehari he..he.. akibatnya terkena kudis kadas dan kurap, sakit badan dirasakan? Ya, tapi itulah konsekuensi atas pilihannya.
Pelajaran dikelas dimulai pukul 07.30 hingga dzuhur, istirahat sebentar lanjut lagi hingga asar. Istirahat untuk makan dan bersih diri. Maghrib hingga jam 20.00 full belajar kitab, dilanjut makan malam dan baru istirahat pukul 10.00, dan itu adalah rutinitas tiap hari, belum lagi kegitan ekstrakurikuler seperti pramuka, seni budaya dan lain sebagainya. Lelah capek pastinya iya, tapi itulah konsekuensi yang harus ia terima atas pilihannya.
Menu makanan yang monoton tiap harinya menunya sate (sambel tahu tempe) he..he.. mau tidak mau harus ia makan, soal rasa masakan enak tidak enak ya harus dimakan, karena itu adalah pilihan, dan ia harus terima.
Aturan pondok yang ketat, tidak boleh keluar pondok, tidak boleh bawa HP, tidak boleh bawa TV dan Radio, tidak boleh merokok, mengghashab, mencuri dan seabrek aturan dan larangan yang ditentukan pondok seolah menjadi penjara tersendiri bagi santri, tapi itulah konsekuensi yang harus ia terima, tak heran saat kami menjenguknya di pondok, teman-temannya mengatakan di pondok bagaikan dipenjara ha..ha.. (saya mendengar cerita anak-anak tertawa)
Barang tertukar dan hilang seolah menjadi pemandangan disetiap pondok pesantren, kesal marah menghinggpi saat santri barangnya tertukar atau hilang. Yang jengkel bukan hanya santri, orangtua santri pun juga jengkel dan geram he..he.., geram jengkel boleh karena kita manusia, tapi jangan terus-terusan geram dan jengkelnya dan jangan buru-buru suudzon sama pesantren barang-barang koq hilang, jangankan barangnya santri, barangnya pak kiai pengasuh pondok pun bisa raib entah itu sandal atau bahkan tasnya saat mengajar he..he.. saya sendiri pernah jadi korban, saat jenguk anak di asrama pondok lepas sandal, saat balik sandal sudah raib entah kemana ha..ha..
Itulah sekelumit kisah anak pertama saya saat mondok di pesantren Amanatul Ummah Mojokerto 8 tahun lalu, dan bagaimana kisah mondoknya anak kedua kami di Darul Ukhuwah Putri 1 Malang ?
Berhubung masih santri baru, jadi belum banyak yang bisa ia ceritakan, karena baru 2 bulanan, tapi pas kunjungan pertama kalinya, ia bercerita jika kegiatan di pondok sangat padat, sama seperti yang dialami kakaknya sewaktu dulu mondok yaitu kadang mandi sekali he..he... Untuk mensiasati agar bisa mandi dan tidak ikut antri, ia rela bangun jam 2 dini hari, mandi dan bersiap diri untuk datang lebih awal ke musholla, karena setiap shalat harus berjamaah dan dicatat. Lelah capek mengantuk ya pasti, tapi itulah konsekuensi dari pilihannya.
Dari sekelumit pengalaman saat anak-anak kami berada di pondok, ada beberapa hal yang mungkin bisa diambil hikmahnya.
1. 1. Setiap anak memiliki fitrahnya sendiri-sendiri, bakatnya sendiri-sendiri, kita sebagai orangtua tidak bisa memaksa bakat dari seorang anak harus begini dan begitu, biarkan anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai fitrahnya. Begitu juga dalam memilih sekolah, jangan kita paksa sesuai keinginan kita, tapi sesuaikan dengat minat sianak, dan kita tinggal membimbing dan mengarahkannya. Jika anak tidak minat mondok jangan dipaksa, bisa jadi saat mondok nantinya justru makin liar tidak terkontrol karena sianak merasa tertekan, pun sebaliknya.
2. 2. Saat anak sudah memutuskan memilih pondok tempatnya untuk menimba ilmu, tanamkan rasa tanggungjawab atas pilihannya, agar ia tetap kuat berada di pondok hingga akhir pendidikan.
3. 3. Lelah capek sakit adalah bentuk pengorbanan untuk mencapai kesuksesan, rela bangun pagi, punya inisiatif dan bisa mencari solusi dari setiap masalah adalah gemblengan pondok pesantren dalam mendidik santri untuk menjadi insan yang mandiri, contoh cari waktu yang longgar untuk mandi adalah inisiatif dan kreatifitas santri agar bisa berbeda dengan kebanyakan santri lainnya
4. 4. Aturan ketat dan disiplin yang diberlakukan oleh pondok mungkin terasa seperti penjara bagi santri karena apa-apa serba dibatasi, diatur dan jika melanggar dihukum. Dan bagi kami sebagai orangtua justru itu bagus untuk membentuk karakter santri agar bertanggungjawab atas dirinya sendiri yang kelak dari kedisiplinan itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak jika ia sudah terjun dimasyarakat.
5. 5. Rasa jengkel marah saat barangnya santri hilang adalah sebuah pelajaran tentang keihklasan, tanpa sadar di pondok anak-anak kita dilatih ihklas saat barang yang dimilikinya hilang, entah itu sandal atau pakaiannya yang hilang, dan santri dididik agar tetap husnudzon, boleh jadi sisantri lupa menaruh barang, bisa juga tertukar dengan milik santri lainnya mengingat di pondok semuanya memakai seragam yang sama, dan atas kejadian itu santri bisa merasakan rasanya sabar dan ikhlas karena sejatinya yang dipunya semua adalah titipan dari Allah semata, nilai-nilai ketauhidannyapun meningkat.
6. 6. Mengutip dawuh pengasuh pondok Gontor KH Hasan Abdullah Sahal “wali santri harus memiliki sifat TITIP, wali santri harus Tega, harus Ikhlas, harus Tawakal, harus Ikhtiyar dan harus Percaya”. Khusus pada kata Percaya ini beliau mengatakan “Percayakan bahwa anak kalian ini dibina, betul-betul dibina, apa yang mera dapatkan disini bentuk pembinaan, jadi kalau melihat anak-anakmu diberlakukan bagaimanapun, percayalah itu adalah bentuk pembinaan, itu adalah pendidikan, jadi jangan salah paham, jangan salah persepsi, mereka beribadah dengan ilmu, mereka selalu dajarkan untuk mendoakan ibu bapaknya, mereka pergi untuk kembali, bertemu jarang-jarang agar cinta semakin berkembang”. Dari kata TITIP itulah kami berupaya semaksimal mungkin untuk selalu husnudzon pada pondok dimana anak-anak kami dididik.
7. 7. Sebagai orangtua yang memondokkan anaknya, jangan sekali-kali terbersit dalam hati menuntut ke pondok dan mengatur-atur peraturan pondok dimana anak-anak kita sedang menimba ilmu, karena jika itu kita lakukan maka ilmu yang diperoleh anak-anak kita tidak akan barakah dan akan membawa musibah bagi kehidupanya.
Alkisah, ada seorang walisantri pejabat dan orang berada, setiap kunjungan ia sering dicurhati anaknya tentang apa yang terjadi di pondok, orangtuanya sangat percaya pada anaknya, hingga orangtua tersebut complain ke ustadz pembimbingnya bahkan complain ke pengasuh pondok, tak segan-segan akan memviralkan apa yang disampaikan anaknya tentang pondok ke media massa bahkan ke kepolisian.
Kebetulan saat itu saya sebagai lawyer dimintai pendapat dari sisi hukum, saya sampaikan “silahkan jika mau memviralkan pondok tersebut dan membawa keranah hukum dengan konsekuensi kamu sendiri yang akan malu dan jabatanmu akan dipertaruhkan”, akhirnya orangtua tersebut tidak jadi membawa keranah hukum tapi justru anaknya diboyong paksa tidak lagi mondok.
Kenapa saya katakan pada yang bersangkutan demikian? Karena hasil investigasi justru anaknyalah selama ini yang nakal liar didalam pondok, sok jagoan karena orangtuanya pejabat dan berduit, merasa terlindungi hingga sering membully teman dan adik kelasnya yang lugu, melakukan pemalakan dan perbuatan tidak terpuji lainnya, hingga pihak pondok menghukumnya berulang kali namun tidak jera juga, dan justru mengarang cerita seolah-olah ia yang jadi korban pembuliyan.
Beberapa tahun kemudian, saya mendengar kabar jika pejabat tersebut tersandung kasus karena anaknya tertangkap dan dipenjara karena sebagai pengedar narkoba. Naudzubillahi mindzalik
Maa syaa Alloh ... Luarrrr biasa tulisan bpk.
BalasHapusMembuat hati wali santri bs menjadi lebih tenang.
Tulisan yg sgt menginspirasi... Luarrr biasa..... 👍👍👍