![]() |
dok.prib Fatiyya dkk Kelas 1 A DUPI 1 |
Apa yang didapat oleh ananda tidak mudah, butuh perjuangan ekstra keras, rela bangun lebih awal, naik turun tangga asrama ke sekolah tiap hari, padatnya agenda pesantren seolah seperti kerja rodi, keluh kesah santri seolah tak pernah berhenti yang kadang membuat walisantri bertukar curhat di grup-grup WA dan medsos sesuai penafsirannya sendiri. Di era digitalisasi semua tanpa sekat dan tak ada yang ditutup-tutupi, tapi dari situlah justru bisa membuka jatidiri dan membuka aib sendiri, ibarat pepatah menepuk air didulang terpercik kemuka sendiri.
Dari beragam kisah yang dialami santri terbersit sebuah usulan seharusnya Pondok Pesantren ada komite pesantren seperti halnya sekolah umum yang ada komite sekolahnya. Sepanjang sepengetahuan saya, baik sebagai santri saat mondok di pesantren hingga dua kali memondokkan anak di dua pesantren yang berbeda, belum pernah saya jumpai pondok pesantren yang ada komite walisantrinya, baik itu pondok salaf tradisional maupun pondok modern. Bahkan saya juga pernah bertukar kabar dengan teman-teman yang memondokkan anaknya di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, di pondokan anak-anak mereka juga tidak ada komite walisantri. Kenapa demikian ?
Karena, ketika kita memasukkan anak ke pondok pesantren dan berharap anak-anak kita kerasan di pondok pesantren dengan segala aturan yang sudah kita tandatangani, disitulah awal kita sebagai orang tua juga harus siap memondokkan hati, akal dan jiwa kita, meskipun kita sebagai orang tua tinggal rumah sedangkan anak-anak tinggal di pondok pesantren. Karena dalam perjalanan pendidikan di pondok pesantren yang akan diuji bukan hanya santrinya, tapi juga orang tuanya.
Jika disekolah umum baik negeri maupun swasta dibentuk lembaga orang tua murid atau komite sekolah yang mana komite sekolah memberi masukan kepada sekolah tentang proses pendidikan yang terbaik. Tapi komite sekolah atau komite walisantri tidak ada di Pesantren, kenapa?
Karena, dalam sejarah pondok pesantren,
berawal dari adanya seorang kiai, datang kemudian beberapa orang santri yang
ingin berguru kepada sang kiai. Karena rumah tinggal kiai tidak cukup, para santri tersebut
kemudian bersama-sama membangun sendiri bangunan di sekitar rumah kiai untuk sarana tinggal dan
mencukupi kebutuhannya. Jadi jelaslah di sini bahwa santrilah yang minta ilmu
kepada kiai, santri minta
untuk dididik, dibina, dibekali dengan bekal kelimuan yang cukup. Jadi santri
yang minta ilmu, bukan kiainya yang nawarin ilmu.
Artinya santri adalah tamu yang harus taat dan patuh sepenuhnya kepada kiai sebagai tuan rumah tanpa harus ikut mengatur apalagi protes terhadap segala aturan dan kebijakan tuan rumah. Maka jika seseorang itu masuk pondok pesantren lalu merasa kurang cocok dengan kondisi di pondok pesantren itu, ya monggo saja keluar. Terkait ketidakcocokan wali santri pada aturan pondok pesantren pernah saya tulis di blog https://aripimawan.blogspot.com/2022/08/wali-murid-yang-suul-adab-penyebab.html
Balik kepersoalan kenapa di pondok pesantren tidak ada organisasi wali santri atau komite wali santri sebagaimana komite wali murid di sekolah pada umumnya?
Karena, jika ada organisasi wali santri, hal itu bisa menimbulkan persoalan baru karena wali santri bisa ikut campur dalam urusan kepesantrenan. Contoh, ada santri yang mengeluh makanan tidak enak, lalu usul makanannya ditambahin lagi menunya. Ada santri mengeluh tidak bisa tidur karena udara lembab panas, lalu usul kamarnya ada AC-nya, ada santri kehilangan sandal lalu usul agar di pondok ada satpam, ada santri tidak senang tidur dengan banyak teman akhirnya usul ada kamar VIP, ada santri mengeluh tidak mau dihukum akhirnya usul hilangkan hukuman, ya rusak tatanan dan aturan di pondok pesantren he..he.. kenapa ?
Karena, berbagai macam ego akan muncul dari dalam wali santri sesuai dengan keluhan anak-anaknya. Ego itulah yang harus di hilangkan, karena ego pribadi itu merusak sistem yang sudah dibangun pondok pesantren atas dasar keihklasan.
Sistem pendidikan dipondok pesantren sudah teruji berabad-abad lamanya, dimana sistem pendidikan di pondok pesantren dengan kurikulum 24 jam yang berpengaruh pada pola pembentukan mental santri, jadi pondok pesantren tidak hanya mengejar nilai akademis semata tapi pendidikan karakter yang akan menjadi bekal di masyarakat juga diajarkan baik dari sisi kedisiplinan dan kemandirian.
Jadi, sebelum kita memasukkan anak-anak ke pondok pesantren, sebaiknya dipertimbangkan dengan matang, karena sistem pendidikan
di pondok pesantren jauh berbeda dengan sistem pendidikan di sekolah pada umumnya yang menggunakan kurikulum yang sudah diatur oleh pemerintah. Silahkan dibaca juga artikel di blog
http://aripimawan.blogspot.com/2022/08/libatkan-anak-dalam-memilih-pondok-agar.html
siapa tahu bisa jadi referensi.
.
Sekali lagi, jika dibentuk organisasi wali santri, yang muncul adalah adalah ego antar walisantri yang menginginkan kesenangan bagi anaknya dan jangka panjangnya justru merusak masa depan santri itu sendiri, keluar pondok pesantren tidak ada perubahan baik dari sisi mental karakter bahkan kemandiriannya, karena hidup di rumah dan pondok pesantren sama saja.
Sedikit berbagi, karena saya juga pernah jadi santri dan kini menjadi wali santri, jika ingin memasukkan anak ke pesantren, niat yang pertama haruslah ikhlas dididik dengan segala fasilitas yang ada dipondok pesantren, ikhlas dibina dengan disiplin dengan aturan yang ada, ikhlas menerima apapun yang akan diterima oleh anak jika anak kita melanggar. Jika kurang suka dengan sistem pondok pesantren, ya monggo saja menarik diri dari pondok pesantren. Karena ya itulah bedanya pondok pesantren dan sekolahan pada umumnya.
Sesama wali santri, mari saling mengingatkan tujuan awal kita memasukkan anak kita ke pondok pesantren, dengan berbagai tes yang ditempuh bahkan kita berdoa siang malam agar anak kita diterima di pondok pesantren yang menurut kita pondok modern dan bonafide yang bisa mendidik anak-anak kita menjadi pribadi yang berahklaul karimah, tapi ketika sudah diterima dan kita sebagai wali santri justru minta ini dan itu sesuai keinginan kita ke pondok pesantren, justru hal ini yang aneh.
Sebagai penutup saya kutip nasehat KH. Hasan Abdullah Sahal dari Gontor, beliau mengatakan “Pesantren bukan restoran Padang, di mana setiap pelanggannya bisa pesan menu sesuka hati. Pesantren sudah memiliki menu sendiri, bagi yang suka silahkan bagi yang tidak suka silahkan mencari lembaga yang bisa melayani keinginan pelanggannya"
Mohon maaf jika tulisan di blog ini kurang
berkenan dihati pembaca, tapi dimanapun berada pro kontra itu selalu ada.
MaasyaAllah Jazaakumullah Khairan
BalasHapusAlhamdulillah... Saya mendapat masukan membuat saya merasa tenang dan bangga anak saya masuk pesantren semoga ananda² yg masuk pesantren mendapat ilmu yg bermanfaat, barokah aamiin
BalasHapusAdziiim.... sepakat
BalasHapusMasyaAllah.. terimakasih sudah berbagi.. semoga menjadi amal jariah
BalasHapusaamiin
Alhamdulillah... Semoga makin banyak wali santri yg teredukasi.. terimakasih
BalasHapusMasyaAllah.. saya sepakat sekali bapak.. kebetulan putri qt satu pondok.. Bismillah semoga selalu mendapat keberkahan ilmu d dunia dan d akhirat.. Aamiin
BalasHapusSip, mantap... Matur nuwun pencerahannya
BalasHapussami'na wa ato'na
BalasHapus