Saya senang dengan pelajaran sejarah, karena dari sejarahlah kita bisa belajar tentang makna keteladanan, dimana keteladanan saat ini sudah menjadi barang yang langka. Kita bisa belajar dari teladan seorang Polisi dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Suatu pagi di tahun 1969, saat itu sebuah mobil sedan buatan tahun 50 melintasi perempatan Soko, Pekalongan. Di dalam mobil sedan tersebut ada Sultan Hamengku Buwono IX yang tengah dalam perjalanan menuju ke Tegal. Rupanya Raja Jogja itu melakukan pelanggaran menerobos lampu lalu lintas, kemudian seorang polantas menghentikan mobil Sultan Hamengku Buwono IX. Polantas tersebut bernama Royadin dengan pangkat Brigadir kemudian menanyakan pada pengemudi mobil sedan tersebut. "Selamat pagi. Bisa lihat rebuweesnya (saat ini bernama SIM)?" tanya Brigadir Royadin. Pengemudi lantas membuka kaca mobilnya. "Ada apa pak polisi?" ucap Sopir Ngarso Dalem tenang.
Mengetahui siapa yang ada di balik kemudi, Royadin gemetar. Adalah hal lumrah mengingat status Sultan sebagai orang pemegang kuasa tertinggi di Yogyakarta. Namun, Royadin tetap berusaha menjalankan tugasnya yakni menegakkan keadilan dimana setiap pelanggar tentunya harus ditindak.
Berbeda sengan kondisi zaman sekarang yang ketika kebanyakan orang ditilang, mereka lantas ngamuk di jalan. Bahkan tak jarang jika yang tertangkap adalah kalangan pejabat atau orang penting, mereka akan menekan polisi dengan kekuasaannya.
Akan tetapi kondisinya berbeda di tahun 1960 an. Sultan begitu disegani oleh warga sebagai raja dan juga pemimpin daerah. Hal membuat heran Royadin saat itu adalah Sultan sama sekali tak melakukan perlawanan. Sultan pun tak ngamuk-ngamuk seperti yang dilakukan pejabat atau pelanggar lalu lintas zaman sekarang. Bahkan tak menggunakan kekuasaannya untuk menekan polisi dengan pangkat Brigadir itu.
"Ndak usah, saya pasti salah, sampean (anda) yang benar. Lalu bagaimana?" tanya Sultan kepada Brigadir Royadin.
Royadin lantas melakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku sesuai dengan tugasnya sebagai penegak hukum.
"Maaf Sinuwun saya tilang" pungkas Royadin.
"Baik Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal" jawab Sultan.
Surat tilang pun dibuat dan Sultan lantas melanjutkan perjalanan ke Tegal. Royadin pun membawa rebuwees untuk diserahkan ke markas kepolisian Pekalongan. Aksi berani Royadin lantas menjadi perbincangan di apel keesokan harinya.
Royadin lantas dipanggil oleh Komisaris Polisi dan mendapat amukan. Atasannya berpendapat bahwa harusnya Royadin tak sekaku itu menerapkan peraturan, mengingat yang ditilangnya adalah orang dengan kekuasaan tertinggi di Jogja. Ditakutkan kasusnya akan semakin rumit apa lagi jika kasus sampai ke telinga Menteri Kepolisian Negara saat itu.
"Royadin!!! Apa apaan ini? Kamu tau siapa Beliau? Apa kamu tidak berfikir siapa beliau? Siapa?? Ngawur kamu! Sembrono! Berita Ini bisa sampai ke Menteri Kepolisian Negara tahu??" kata Komisaris Polisi yang sambil memaki Royadin.
Royadin pun jadi bahan olok teman dikesatuannya. Bahkan ada yang mengejek bahwa bisa saja Royadin bakal dihukum hingga dimutasi ke pinggiran Pekalongan. Royadin hanya bisa pasrah. Polisi dengan pangkat brigadir bisa kalah dengan orang yang jauh lebih tinggi kekuasaan darinya.
Beberapa hari selanjutnya, surat dari Sultan sampai ke markas polisi Pekalongan. Brigadir Royadin dipanggil Komisaris di kantornya. Ia telah siap dengan apapun keputusan yang ada dalam surat.
"Ini ada surat, kamu besok pindah saja sekeluarga" kata Komisaris Polisi.
"Kenapa harus sekeluarga pak? Saya masih sanggup mengayuh sepeda kalau dipindah ke pinggiran kota. Saya mau dipindah kemana pak?" tanya Brigadir Royadin kebingungan.
"Apa kamu mau mengayuh sepeda dari Jogja Pekalongan pulang pergi?" tanya Komisaris.
Rupanya isi surat dari Sultan menginginkan agar Brigadir Royadin dipindah tugaskan ke Yogyakarta. Sultan juga memberi mandat agar pangkat Royadin dinaikkan satu tingkat atas aksinya menegakkan hukum dengan tegas.
"Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Jogjakarta sebagai polisi yang tegas, saya selaku Pemimpin Jogjakarta akan menempatkan Brigadir Royadin bersama keluarga di wilayah Jogjakarta dan saya meminta kepada pihak kepolisian untuk menaikan pangkatnya satu tingkat," isi surat yang ditandatangani oleh Sri Sultan HB IX.
Royadin pun menimbang-nimbang tawaran tersebut. Akhirnya ia pun memilih untuk tetap bertugas di tempatnya dan Sultan menghargai keputusan Royadin.
Komentar
Posting Komentar